MyTimes

MyTimes merupakan weblog independen yang berisikan kolom dan esai tentang segi-segi kehidupan, ditulis oleh Antonius Bakti Tejamulya. MyTimes didedikasikan bagi para penikmat bacaan serius yang ditulis dengan citarasa (mudah-mudahan) memikat.

My Photo
Name:
Location: Jakarta, Indonesia

Antonius Bakti Tejamulya menjual artikel pertamanya ketika berumur 16 tahun dan sejak itu dia terus menulis. Suka membaca, humor, musik, jalan-jalan, sambil sesekali menikmati kopi kesukaannya: sehitam hati iblis, sepanas neraka, dan semurni malaikat.

Monday, January 30, 2006

Diplomasi Underwear

ILLUSTRATED BY SHERRI HEPLER
Surprise! Sebutkan corak atau model pakaian dalam yang kamu pakai saat wawancara ini berlangsung!

Celana dalamku warna merah marun dan bra-ku warna krem, biar warnanya sama dengan warna kulit, karena mau difoto ‘kan? (nukilan sebuah tabloid hiburan terkemuka)

MIRIP hasil audit long form akuntan PwC, urusan jeroan selebritas kini jadi konsumsi publik. Keduanya muncul dari desakan. Yang pertama didesak oleh IMF dan aspirasi masyarakat. Yang kedua didesak oleh persaingan ketat antarmedia infotainment.

Ketika underwear bukan lagi urusan “dalam negeri” seseorang, maka batas wilayah “rahasia” menjadi sengketa. Pro dan kontra. Yang pro mengatasnamakan kebebasan (suka-suka orang kan mau ngasih tau). Yang kontra mengatasnamakan kesusilaan (kira-kira dong, kayak nggak ada cerita lain). Tapi sudahlah, talk show ini berpotensi memecah belah persatuan dan kesatuan. Biasanya diakhiri dengan saling tuduh. Munafiklah. Kebarat-baratanlah. La la la la ...

Pakaian dalam memang seperti sihir. Sebagus, semahal apa pun, ia tak bermakna semasih dipajang di toko atau di tali jemuran. Laksana gombal yang tak menginspirasi apa-apa. Tapi, bayangkanlah bila ia dipakai oleh artis SL, SA, IK, FF, CK atau idola Anda. Alamak!

Sihir terhadap perasaan khayali dilakukan sangat baik oleh iklan. Di tangan para kreator, seluruh produk dipersonalisasikan sebagai preferensi gaya hidup (stylization). Apa yang kita lihat sebagai kebebasan, sesungguhnya adalah rokok. Apa yang kita lihat sebagai seks, ternyata adalah sabun. Apa yang kita lihat sebagai petualangan, sesungguhnya adalah jeans. Apa yang kita lihat sebagai cinta, ternyata adalah kondom. Apa yang kita lihat sebagai gairah, sesungguhnya adalah mobil. Apa yang kita rasa sebagai seductive, ternyata adalah minuman suplemen. Jadi, iklan bisa dipahami sebagai diplomasi underwear.

Filsuf Prancis Jean Baudrilard (1985) mencatat, kita tengah hidup dalam realitas hiper (hyper-reality). Segala sesuatu adalah tiruan, atau tiruan dari sebuah tiruan. Yang palsu tampak lebih nyata tinimbang kenyataannya. Realitas telah melahap segalanya. Segala sesuatu mengklaim realitas ke(tidak)adilan yang sama.

Meski merupakan generasi sadar media, masyarakat kini bukannya mencari kebenaran. Mereka malah melakukan peniruan secara sadar terhadap media, yaitu mengadopsi kepribadian karakter fiktif sebagai cara merefleksikan diri. Mereka membahas kehidupan pribadi melalui analogi cerita sinetron atau telenovela. Mereka bercakap sambil mengutip ucapan selebritas dan keywords iklan. Secara reflektif, mereka sebetulnya sadar. Mereka tahu saat terperdaya dan termakan diplomasi underwear.

Dulu, selama hampir dua dekade sejak 1970-an, kemewahan merupakan ciri utama pusat perbelanjaan. Kini, mal dan plaza mengartikulasikan ideologi kekeluargaan. Etalase ditampilkan dalam tata lampu mutakhir dan gugahan teatrikal. Kantung atau tas plastik pembungkus barang belanjaan, bercap toko atau vendor. Lantas, dengan bangganya kita tenteng. Tanpa sadar, kita rela menjadi spesies papan reklame. Semua benda berlogo merk suatu produk, sebetulnya sebuah esai ringkas tentang aspirasi sosial dan realitas ekonomi.

Para perempuan yang dulu dikenal berpenampilan sebagai istri dan ibu, kini bergeser menuju individu feminin yang glamor dan sensual bak selebritas. Mereka perempuan baru yang (“dipaksa”) ideal. Mandiri tapi feminin. Berkarir tapi a nice housewife. Gemuk tapi fashionable. Jelek tapi pe-de.

Demikian pula para gadis belia. Mereka terobsesi pada dunia (boneka) Barbie yang mempertahankan citra dirinya sebagai gadis ceria. Punya tubuh ideal (39-18-33), punya karir (ingat versi career girl Barbie?) dan kekasih klimis bernama Ken.

Diplomasi underwear yang diperantarai oleh kebanyakan majalah perempuan, sebenarnya merupakan resistensi kaum perempuan terhadap kehidupan puritan (old fashioned). Mereka percaya pada gagasan bahwa kecantikan – sebagai elemen feminitas – dapat dicapai oleh setiap perempuan dengan penggunaan produk yang tepat. Melalui berbagai cara, tubuh perempuan dipilah-pilah menjadi sejumlah bagian (cara ini mengingatkan kita pada kegiatan di kios daging). Pada bagian tubuh itulah produk-produk kecantikan mencari pasarnya.

Majalah perempuan yang berisi seputar masakan, fashion, tips kecantikan dan rumah idaman, kelihatannya saja ingin menampilkan komoditas. Tapi sesungguhnya – bersama iklan-iklan yang menggemaskan – sedang berusaha menjual penampilan, citra, dan sebuah dunia.

Diplomasi ini menciptakan kecemasan-kecemasan kecil. Bahwa bila perempuan tak memenuhi standar tertentu, maka mereka takkan dicintai. Mereka sibuk membenahi sejumlah bagian tubuhnya agar tampak lebh erotis dan sempurna (erotogenik). Baik sekadar senam body language, sedot lemak, maupun permak bodi ala ketok magic. Sebagai pemberlakuan otonomi daerah, bagian tubuh sekecil apa pun dewasa ini menuntut penanganan secara khusus dan saksama. Dari rambut, kelopak mata, hidung, pipi, bibir, gigi, kulit, tangan, jari, siku, lengan sampai telapak (bahkan sampai vagina) dibuat kiat perawatannya (special treatment).

Dengan keyakinan (bahwa kecantikan bisa direnggut melalui penggunaan produk/terapi yang tepat) itu, kaum perempuan kini memandang feminitas sebagai masquerade alias penyamaran. Istilah yang diperkenalkan oleh Janice Winship (1987) ini menjelaskan, masquerade ialah semacam transformasi diri yang menjelmakan tiga sosok sekaligus. Yakni “sebagai konsumen bagi diri sendiri”, “sebagai hak milik”, dan “sebagai komoditas”. Hal ini mudah dipahami melalui psikoanalisis kesadaran ala Freud. Bahwa dibanding lelaki, perempuan memiliki gejala narsisisme atau kecenderungan mengagumi tubuh sendiri, menampilkannya di depan orang lain, sehingga orang lain dapat menikmati pula kekaguman itu (mohon, jangan sama dengan ekhibisonis).

Sejak kecil, perempuan lebih terlatih untuk senantiasa meneliti diri sendiri. Inilah preseden historis yang mesti ditanggung sepanjang hayatnya. Mereka melihat diri sendiri sebagai objek. Di kala lelaki melihat perempuan, perempuan melihat dirinya sendiri yang sedang dilihat lelaki.

Objektifikasi gender berlangsung universal. Lelaki dikenal lewat sikapnya. Perempuan dikenal lewat penampilannya. Tentu saja (kalau) plus cerdas lebih baik. Pada masyarakat kontemporer, sudah jamak bahwa sang istri seolah-olah menjadi aksesoris penampilan sang suami. Banyak pejabat tinggi atau pengusaha beken menyandarkan status sosial pada penampilan sang istri. Dalam banyak hal, meng-up grade penampilan perempuan relatif bernilai tambah ketimbang bersusah payah kerja keras agar menjadi newsmaker.

Tanpa “dukungan” si istri, si suami mungkin akan seperti underwear yang sedang dijemur. Sebaliknya, performance perempuan nyaris tak terpengaruh oleh eksistensi pasangannya. Anda lebih mengenal Su Kyi dari Myanmar, Benazir Bhuto dari Pakistan, Margaret Thatcher dari Inggris, Condoleeza Rice dari AS, Gloria Arroyo dari Filipina. Tapi, Anda samasekali tak kenal siapa pasangan mereka. Berbeda misalnya dengan Bill Clinton atau Donald J. Trump. Bahkan pacar gelapnya Pangeran Charles pun dulu kita tahu.

Jadi baiklah, apa jenis pakaian dalam Anda saat membaca tulisan ini? G-string atau sporty? Lebih suka mana, tank top atau baby-T? Bra atau no-bra?

Cimanggis, 29 Januari 2006